Rabu, 17 September 2008

Asuhan Keperawatan Premature dan BBLR

PREMATUR DAN BBLR

Tauby For Akper Sumedang

I. Konsep dasar penyakit
1. Definisi
a. Berdasarkan keputusan yang dicapai dalam kongres kedokteran perinatologi eropa kedua (1970), yaitu :
- Bayi lahir hidup dilahirkan sebelum 37 minggu dari hari pertama menstruasi terakhir, dianggap mempunyai masa gestasi yang diperpendek dan disebut sebagai prematur atau pre-term.
- Bayi dengan berat 2500 gr atau kurang saat lahir dianggap sebagai mengalami masa gestasi yang
diperpendek, maupun pertumbuhan intra uterus kurang dari yang diharapkan, atau keduanya.
Keadaan ini disebut sebagai bayi dengan berat lahir rendah.
(Sacharin, Rosa M, 1996 :172)
b. bayi baru lahir resiko tinggi : neonatus tanpa memperhatikan usia gestasi atau berat badan lahir yang mempunyai kemungkinan morbiditas atau mortalitas yang lebih besar dari rata-rata karena kondisi atau situasi suatu kejadian yang dikaitkan dengan kelahiran dan penyesuaian pada keberadaan ekstra uterin (Wong, Donal. 2003 : 423).
2. Etiologi (Penyebab).
BBLR dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
a. Faktor Ibu
- Penyakit toksimia grafvidium, perdarahan antepartum, trauma fisik, dan psikologis, nefritis akut, DM.
- Usia ibu : usia <16>35 tahun multi garafida yang jarak kelahirannya terlalu dekat.
- Keadaan sosial ; golongan sosial’ ekonomi rendah, perkawinan yang tidak syah.
- Sebablain: ibu yang merokok, ibu peminum alkohol ibu penyandu narkotik.
b. Faktor janin
- hidramnion, kehamilan ganda, kelainan kromosom.
c. Faktor lingkungan
- tempat tinggal didaratan tinggi, radiasi dan zat-zat racun.
3. Klasifikasi
1. Menurut Ukuran
a. Bayi BBLR : bayi yang lahir dengan berat badan <2500 gr tanpa memperhatikan usia gestasi.
b. Berat badan lahir sangat rendah sekali atau bayi berat badan lahir eksterm rendah : bayi yang lahir dengan berat badan <1000 gr.
c. BBL sangat rendah : bayi yang lahir dengan berat badan <1500 gr
d. Berat badan lahir rendah sedang : bayi yang lahir dengan berat badan antar 1501-2500 gr
e. Bayi berat sesuai usia gestasi : bayi yang lahir dengan berat badan berada diantara persentil ke-10 dan ke-90 pada kurva pertumbuhan intra uterin.
f. Bayi kecil untuk kelahiran atau kecil untuk usia gestasi : bayi yang lahir dengan berat badan berada dibawah persentil ke-10 pada kurva pertumbuhan intra uterin.
2. Menurut Usia Gestasi
a. Bayi Prematur (praterm):
Bayi yang lahir sebelum gestasi minggu ke-37, tanpa memperhatikan berat badan lahir.
b. bayi full-term :
Bayi yang lahir antara awal minggu ke-38 sampai akhir gestasi minggu ke- 42 tanpa memperhatikan berat badan lahir.
c. bayi postmatur (posterm) :
Bayi lahir setelah minggu ke24 dari usia gestasi, tanpa memperhatikan berat badan lahir.

II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Informasi Identitas
2. Pengkajian
a. Masalah yang berkaitan dengan ibu
- Penyakit seperti hipertensi, toksemia, plasenta previa, kehamilan kembar, malnutrisi dan diabetes melitus.
- riwayat kelahiran prematur atau aborsi, penggunaan obat-obatan, alkohol dan rokok.
b. bayi pada saat kelahiran
- Berat badan biasanya <2500 gr, kurus, lapisan lemak subkutan sedikit atau tidak ada, kepala relatif lebih besar dibanding dada. (lingkar kepala <33 cm, lingkar dada <30cm), panjang badan 45 cm.
- Kardiovaskuler, denyut jantung rata-rata 120-160 per menit pada bagian apikal, kebisingan jantung terdengar pada seperempat bagian interkostal, aritmia, tekanan darah sistor 45-60 mmHg, nada bervariasi antara 100-160x/ menit.
- Gastrointestinal, penonjolan abdomen, pengeluaran mikonium biasanya terjadi dalam waktu 12 jam, refleks menelan dan menghisap yang lemah, peristaltik usia dapat terlihat.
- Mukoloskeletal, tulang kertilago telinga belum tumbuh dengan sempurna, lembut.
- Paru, jumlah pernafasan rata-rata antara 40-60 permenit diselingi periode apnea, pernafasan tidak teratur, flaring nasal, dengkuran, terdengar suaara gemeresiklipoprotein paru-paru.
- Ginjal, berkemih terjadi setelah 8 jam kelahiran, ketidak mampuan untuk melarutkan eksresi kedalam urine.
- Reproduksi, bayi perempuan : klitoris yang menonjol dengan labia mayora yanng belum berkembang ; bayi laki-laki skrotum yang belum berkembang sempurna dengan ruga ynag kecil, testis tidaktirun kedalam skrotum.
3. Diagnosa Keperawatan
1. pola nafas tidak efektif b.d imaturitas paru dan neuromuskular. Penurunan energi dan ketelitian.
2. termoregulasi tidak efektif b.d kontrol suhu yang imature dan penurunan lemak tubuh subcutan.
3. resiko tinggi infeksi b.d pertahanan imunologis yang kurang .
4. pertumbuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidak mampuan mencerna nutrisi karena imaturitas.
5. resiko tinggi kekurangan atau kelebihan volume cairan b.d karaktristik fisiologis imatur dari bayi preterm.
6. resiko tinggi gangguan integritas kulit b.d struktur kulit imatur , amobilitas, penurunan status nutrisi.
7. nyeri b.d prosedur tindakan.
8. perubahan pertumbuhan dan perkembangan b.d kelahiran preterm.
9. perubahan proses keluarga b.d krisis situasi maturitas, kurang pengetahuan.
4. Perencanaan
Dx I : pola nafas tidak efektif b.d imaturitas paru dan neuromuskullar.
- Tujuan : pasien menunjkanoksigenasi yang adequat.
- Interfensi : tempatkan pada posisi terlentang dengan leher sedikit ekstensi dan hidung menghadap keatap dalamposisi ”mengendus”.
- Rasional : untuk mencegah adanya penyempitan jalan nafas.
- Intervensi : hindari hiperektensi leher.
- Rasional : untuk mengurangi diameter trakea.
- Intervensi : obserfasi adanya penyimpangan dari fungsi yang diinginkan : kenali tanda-tanda distres.
- Rasional : untuk menghilangan mukus yang sedang endotrakeal.
- Intervensi : gunakan teknik penghisapan 2 orang.
- Rasional : karena asisten dapat memberikan oksigenasi dengan cepat.
Hasil yang diharapkan :
- jalan nafas tetap paten .
- pernafasan memberikan oksigenasi dan pembuangan CO2 yangg adequat.
- Frequensi dan pola nafas dalam batas yang sesuai dengan usia dan berat badan .
- Oksigenasi jaringan adequat.
Dx2 : termoregulasi tidak efektif b.d kontrol suhu yang imatur dan penurunan lemak tubuh subkutan.
Tujan pasien mempertahankan suhu tubuh stabil.
- iterfensi : tempatkan bayi didalam inkubator penghalang radian atau pakaian hangat dalam keranjang terbuka.
- rasional : untuk mempartahankan suhu tubuh stabil.
- Intervensi : Pantau suhu aksila pada bayi yang tidak stabil.
- Rrasional : untuk mempertahankan suhu kulit dalam rentang normal yang dapat diterimaa.
Hasil yang diharapkan :
Suhu aksila bayi tetap dalam rentang normal untuk usia pascakonsepsi.
Dx3 resiko tinggi infeksi b.d perthanan imunologis yang kurang.
Tujuan : pasien tidak menunjukan tanda-tanda infeksi nasokomial.
- Intervensi : pastikan bahwa semua pemberian perawatan mencuci tangan sebelum dan setelah mengurus bayi.
- Rasional : untuk meminimalkan pemasaran pada organisme infektif.
Hasil yang diharapkan
- Bayi tidak menunjukan tanda-tanda infeksi nasokomial.
Dx4 : perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidak mampuan mencerna nutrisi karena imaturitas.
Tujuan : pasien mendapatkan nutrisi yang adequat, dengan mesukan kalori untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen positif dan menunjukan penambahan berat badanyang tepat.
- Intervensi :bantu ibu mengeluarkan asi.
Hyasil yang diharapkan :
- Bayi mendapat kalori dan nutrien esensial yang adequat.
- Bayi menunjkann penambahan berat badan yang mantap (kira-kira 20-30 gr/hari)
- Pada saat fase pascaakut penyakit.
Dx 5 resiko tinggi kekurangan atau kelebihan volume cairan b.d karakteristik fisiologi imatur dari bayi preterm.
Tujuan : pasien menunjukan status hidrasi adequat.
- intervensi : pastikan masukan cairan oral /Parenteral yang adequat.
- Atur cairan parentral dengan ketat.
- Pantau keluar urin
Hasil yang diharapkan:
- bayi menunjukan bukti homeostatis.

Selasa, 16 September 2008

Rumus Kebutuhan Nutrisi

Beberapa Formula yang dipakai untuk menghitung kebutuhan energi.Persamaan Harris – Benedict.
Pada laki – laki :EER (Kal) = 66,5 + 13,75.BB + 5,00.TB – 6,77.UEER ( KJ) = 278 + 57,5.BB + 20,93.TB – 28,35 .U
Pada perempuanEER (Kal) = 665,1 + 9,56.BB + 1,85.TB – 4,67.UEER ( KJ) = 2741 + 40,0.BB + 7,74.TB – 19,56 .U

Keterangan :
EER : estimated energy requirements
BB : berat badanTB : tinggi badan
U : umur ( tahun )

2. Persamaan Shofield.

Laki - laki Usia 15 – 18 tahunBMR = 17,6 x BB (Kg) + 656
Usia 18 – 30 tahunBMR = 15,0 x BB (Kg) + 690
Usia 30 – 60 tahunBMR = 11,4 x BB (Kg) + 870
Usia > 60 tahunBMR = 11,7 x BB (Kg) + 585

WanitaUsia 15 – 18 tahunBMR = 13,3 x BB (Kg) + 690
Usia 18 – 30 tahunBMR = 14,8 x BB (Kg) + 485
Usia 30 – 60 tahunBMR = 8,1 x BB (Kg) + 842
Usia > 60 tahunBMR = 9,0 x BB (Kg) + 656.

Asuhan Keperawatan Nefrotik Syndrome

Sindrom Nefrotik
Patogenesis dan Penatalaksanaan

Tauby Isdat
Akper Sumedang, Hometown Zona Tiga
FOR ADIK MAHASISWA AKPER
MOGA BERMANFAAT

PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria, Hiperkoagulabilitas. Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu.Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin serum dan
rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T

Kelainan histopatologi pada SN primer meliputi nefropati lesi minimal,nefropati membranosa, glomerulo-sklerosis fokal segmental, glomerulonefritis membrano-proliferatif.

Penyebab SN sekunder sangat banyak, di antaranya penyakit infeksi, keganasan, obat-obatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit herediter-familial, toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis, obesitas massif. Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik).Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1.Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun.Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus. Pada SN primer ada pilihan untuk memberikan terapi empiris atau melakukan biopsi ginjal untuk mengidentifikasi lesi penyebab sebelum memulai terapi. Selain itu terdapat perbedaan dalam regimen pengobatan SN dengan respon terapi yang bervariasi dan sering terjadi kekambuhan setelah terapi dihentikan. Berikut akan dibahas patogenesis/patofisiologi dan penatalaksanaan SN.

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
Pemahaman patogenesis dan patofisiologi sangat penting dan merupakan pedoman pengobatan rasional untuk sebagian besar pasien SN.

Proteinuri merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin. Derajat proteinuri tidak berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan glomerulus. Pasase protein plasma yang lebih besar dari 70 kD melalui membrana basalis glomerulus normalnya dibatasi oleh charge selective barrier (suatu polyanionic glycosaminoglycan) dan size selective barrier.Pada nefropati lesi minimal, proteinuri disebabkan terutama oleh hilangnya charge selectivity sedangkan pada nefropati membranosa disebabkan terutama oleh hilangnya size selectivity.

Hipoalbuminemi
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal.Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun.

Hiperlipidemi
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah).Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik
Cermin Dunia Kedokteran No. 150, 2006

Lipiduri
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus yang permeabel.

Edema
Dahulu diduga edema disebabkan penurunan tekanan onkotik plasma akibat hipoalbuminemi dan retensi natrium (teori underfill).
Hipovolemi menyebabkan peningkatan renin, aldosteron, hormon antidiuretik dan katekolamin plasma serta penurunan atrial natriuretic peptide (ANP). Pemberian infus albumin akan meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi glomerulus dan ekskresi fraksional natrium klorida dan air yang menyebabkan edema berkurang. Peneliti lain mengemukakan teori overfill. Bukti adanya ekspansi volume adalah hipertensi dan aktivitas renin plasma yang rendah serta peningkatan ANP.

Beberapa penjelasan berusaha menggabungkan kedua teori ini, misalnya disebutkan bahwa pembentukan edema merupakan proses dinamis. Didapatkan bahwa volume plasma menurun secara bermakna pada saat pembentukan edema dan meningkat selama fase diuresis.

Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI).

Kerentanan terhadap infeksi
Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumonia, Klebsiella, Haemophilus.SN juga terjadi gangguan imunitas yang diperantarai sel T. Sering terjadi bronkopneumoni dan peritonitis.

DIAGNOSIS
Diagnosis SN dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium berupa proteinuri masif (> 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari), hipoalbuminemi (<3 g/dl), edema, hiperlipidemi, lipiduri dan hiperkoagulabilitas.Pemeriksaan tambahan seperti venografi diperlukan untuk
menegakkan diagnosistrombosis vena yang dapat terjadi akibathiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit penyebab (pada SN sekunder), mengurangi atau menghilangkan proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemi serta mencegah dan mengatasi penyulit. Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid. Peneliti lain menemukan bahwa pada glomerulosklerosis fokal segmental sampai 40% pasien memberi respon yang baik terhadap steroid dengan remisi lengkap. Schieppati dan kawakmenemukan bahwa pada kebanyakan pasien nefropati membranosa idiopatik, dengan terapi simptomatik fungsi ginjalnya lebih baik untuk jangka waktu lama dan dapat sembuh spontan. Oleh karena itu mereka
tidak mendukung pemakaian glukokortikoid dan imunosupresan pada nefropati jenis ini. Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis dikurangi bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat diulangiRegimen lain pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon
1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4 minggu. Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggunamun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan
Hoppermenggunakan dosis 100 mg per 48 jam. Jika tidak ada kemajuan dalam 2-4 minggu, dosis dinaikkan sampai 200 mg per 48 jam dan dipertahankan sampai proteinuri turun hingga 2 gram atau kurang per 24 jam, atau sampai dianggap terapi ini tidak ada manfaatnya. Pada anak-anak diberikan prednison 60 mg/m2 luas permukaan tubuh atau 2 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu, diikuti 40 mg/m2 luas permukaan tubuh setiap 2 hari selama 4 minggu.Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap, remisi parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuri minimal (<>3 g/dl, kolesterol serum <>2,5 g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema. Dikatakan resisten jika klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus SN nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% SN nefropati membranosa dan 20%-40% pada glomerulosklerosis fokal segmental.Perlu diperhatikan efek samping pemakaian kortikosteroid jangka lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetesmelitus.Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid,
untuk mengurangi proteinuri digunakan terapi simptomatik dengan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI), misal kaptopril atau enalapril dosis rendah, dan dosis ditingkatkan setelah 2 minggu, atau obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), misal indometasin 3x50mg. Angiotensin converting enzyme inhibitor mengurangi ultrafiltrasi protein glomerulus dengan menurunkan tekanan intrakapiler glomerulus dan memperbaiki size selective barrier glomerulus. Efek antiproteinurik obat ini berlangsung lama (kurang lebih 2 bulan setelah obat dihentikan). Angiotensin receptor blocker (ARB) ternyata juga dapat memperbaiki proteinuri karena menghambat inflamasi dan fibrosis interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor pertumbuhan, adesi molekul akibat kerja angiotensin II lokal pada ginjal.Kombinasi ACEI dan
Cermin Dunia Kedokteran No. 150, 2006 51

ARB dilaporkan memberi efek antiproteinuri lebih besar pada glomerulonefritis primer dibandingkan pemakaian ACEI atau ARB saja. Obat antiinflamasi non-steroid dapat digunakan pada pasien nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal segmental untuk menurunkan sintesis prostaglandin. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi ginjal, penurunan tekanan kapiler glomerulus, area permukaan filtrasi dan mengurangi proteinuria sampai 75%Selain itu OAINS dapat mengurangi kadar fibrinogen, fibrin-related antigenic
dan mencegah agregasi trombosit. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa OAINS menyebabkan penurunan progresif fungsi ginjal pada sebagian pasien. Obat ini tidak boleh diberikan bila klirens kreatinin < 50 ml/menit.Pada pasien yang sering relaps dengan kortikosteroid atau resisten terhadap kortikosteroid dapat digunakan terapi lain dengan siklofosfamid atau klorambusil. Siklofosfamid memberi remisi yang lebih lama daripada kortikosteroid (75% selama 2
tahun) dengan dosis 2-3 mg/kg bb./hari selama 8 mingguEfek samping siklofosfamid adalah depresi sumsum tulang, infeksi, alopesia, sistitis hemoragik dan infertilitas bila diberikan lebih dari 6 bulan.Klorambusil diberikan dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg bb./hari selama 8 minggu.

Efek samping
klorambusil adalah azoospermia dan agranulositosis. Ponticelli dan kawan-kawanmenemukan bahwa pada nefropati membranosa idiopatik, kombinasi metilprednisolon dan klorambusil selama 6 bulan menginduksi remisi lebih awal
dan dapat mempertahankan fungsi ginjal dibandingkan dengan metilprednisolon sendiri, namun perbedaan ini berkurang sesuai dengan waktu (dalam 4 tahun perbedaan ini tidak bermakna lagi). Regimen yang digunakan adalah metilprednisolon 1 g/hari intravena 3 hari, lalu 0,4 mg/kg/hari peroral selama 27 hari diikuti klorambusil 0,2 mg/kg/hari 1 bulan berselang seling. Alternatif lain terapi nefropati membranosa adalahsiklofosfamid 2 mg/kg/hari ditambah 30
mg prednisolon tiap 2 hari selama beberapa bulan ( maksimal 6 bulan)

evamisol suatu obat cacing, dapat digunakan untuk terapi SN nefropati lesi minimal pada anak-anak dengan dosis 2,5mg/kg bb. tiap 2 hari sekurang-kurangnya 112 hari. Efek samping yang jarang terjadi adalah netropeni, trombositopeni dan skin rash

Siklosporin A dapat dicoba pada pasien yang relaps setelah diberi siklofosfamid atau untuk memperpanjang masa remisi setelah pemberian kortikosteroid. Dosis 3-5 mg/kg/hari selama 6 bulan sampai 1 tahun (setelah 6 bulan dosis diturunkan 25% setiap 2 bulan).Siklosporin A dapat juga digunakan dalam kombinasi dengan prednisolon pada kasus SN yang gagal dengan kombinasi terapi lain. Efek samping obat ini adalah hiperplasi gingival, hipertrikosis, hiperurisemi, hipertensi dan nefrotoksis
Terapi lain yang belum terbukti efektivitasnya adalah azatioprin 2-2,5 mg/kg/hari selama 12 bulan.

Pada kasus SN
yang resisten terhadap steroid dan obat imunospresan, saat ini dapat diberikan suatu imunosupresan baru yaitu mycophenolate mofetil (MMF) yang memiliki efek menghambat proliferasi sel limfosit B dan limfosit T, menghambat produksi antibodi dari sel B dan ekspresi molekul adesi, menghambat proliferasi sel otot polos pembuluh darah.






Penelitian Choi dkk.
pada 46 pasien SN dengan berbagai lesi histopatologi mendapatkan
angka remisi lengkap 15,6% dan remisi parsial 37,8 %. Dosis MMF adalah 2 x 0,5-1 gram. Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgbb./hari, sebagian besar terdiri dari karbohidrat.Dianjurkan diet protein normal 0,8-1 g/kgbb./hari.
Giordano dkk
memberikan diet protein 0,6 g/kgbb./hari ditambah dengan jumlah gram protein sesuai jumlah proteinuri hasilnya proteinuri berkurang, kadar albumin darah meningkat dan kadar fibrinogen menurun. Untuk mengurangi edema diberikan diet rendah garam (1-2 gram natrium/hari) disertai diuretik (furosemid 40 mg/hari atau golongan tiazid) dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic (spironolakton). Pada pasien SN dapat terjadi resistensi terhadap diuretik (500 mg furosemid dan 200 mg spironolakton). Resistensi terhadap diuretik ini bersifat multifaktorial. Diduga hipoalbuminemi menyebabkan berkurangnya transportasi obat ke tempat kerjanya, sedangkan pengikatan oleh protein urin bukan merupakan mekanisme utama resistensi ini. Pada pasien demikian dapat diberikan infus salt-poor human Albumin. Dikatakan terapi ini dapat meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi glomerulus, aliran urin dan ekskresi natrium.Namun demikian infus albumin ini masih diragukan efektivitasnya karena albumin cepat diekskresi lewat urin, selain itu dapat meningkatkan tekanan darah dan bahkan edema paru pada pasien hipervolemi.Hiperlipidemi dalam jangka panjang meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis dini. Untuk mengatasi hiperlipidemi dapat digunakan penghambat hidroxymethyl glutaryl co-enzyme A (HMG Co-A) reductase yang efektif menurunkan kolesterol plasma. Obat golongan ini dikatakan paling efektif dengan efek samping minimal. Gemfibrozil, bezafibrat, klofibrat menurunkan secara bermakna kadar trigliserid dan sedikit menurunkan kadar kolesterol.

Klofibrat dapat toksis pada kadar biasa karena kadar klofibrat bebas yang meningkat menyebabkan kerusakan otot dan gagal ginjal akut. Probukol menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, tetapi efeknya minimal terhadap trigliserid. Asam nikotinat (niasin) dapat menurunkan kolesterol dan lebih efektif jika dikombinasi dengan gemfibrozil.

Kolestiramin dan kolestipol efektif menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, namun obat ini tidak dianjurkan karena efeknya pada absorbsi vitamin D di usus yang memperburuk defisiensi vitamin D pada SN.Untuk mencegah penyulit hiperkoagulabilitas yaitu tromboemboli yang terjadi pada kurang lebih 20% kasus SN (paling sering pada nefropati membranosa), digunakan dipiridamol (3 x 75 mg) atau aspirin (100 mg/hari) sebagai anti
agregasi trombosit dan deposisi fibrin/trombus.
Selain itu obat-obat ini dapat mengurangi secara bermakna penurunan
fungsi ginjal dan terjadinya gagal ginjal tahap akhir.Terapi ini diberikan selama pasien mengalami proteinuri nefrotik, albumin <2 g/dl atau keduanya. Jika terjadi tromboemboli, harus diberikan heparin intravena/infus selama 5 hari, diikuti pemberian warfarin oral sampai 3 bulan atau setelah terjadi kesembuhan SN. Pemberian heparin dengan pantauan activated partial thromboplastin time (APTT) 1,5-2,5 kali kontrol (Cermin Dunia Kedokteran No. 150, 2006)

Sedangkan efek warfarin dievaluasi dengan prothrombin time (PT) yang biasa dinyatakan dengan International Normalized Ratio (INR) 2-3 kali normal. Bila terjadi penyulit infeksi bakterial (pneumonia pneumokokal atau peritonitis) diberikan antibiotik yang sesuai dan dapat disertai pemberian imunoglobulin G intravena. Untuk mencegah infeksi digunakan vaksin pneumokokus. Pemakaian imunosupresan menimbulkan masalah infeksi virus seperti campak, herpes.Penyulit lain yang dapat terjadi di antaranya hipertensi, syok hipovolemik, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun). Penanganan sama dengan penanganan keadaan ini pada umumnya
Bila terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat dilakukan transplantasi ginjal. (Dantal dkk.) menemukan pada pasien glomerulo-sklerosis fokal segmental yang menjalani transplantasi ginjal, 15%-55% akan terjadi SN kembali. Rekurensi mungkin disebabkan oleh adanya faktor plasma (circulating factor) atau faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas glomerulus. Imunoadsorpsi protein plasma A menurunkan ekskresi protein
urin pada pasien SN karena glomerulosklerosis fokal segmental, nefropati membranosa maupun SN sekunder karena diabetes melitus. Diduga imunoadsorpsi melepaskan faktor plasma yang mengubah hemodinamika atau faktor yang meningkatkan permeabilitas glomerulus.

RINGKASAN
Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuri masif, hipoalbuminemi, edema, hiperlipidemi, lipiduri dan hiperkoagulabilitas yang disebabkan oleh kelainan primer glomerulus dengan etiologi yang tidak diketahui atau berbagai penyakit tertentu. Pemahaman patogenesis dan patofisiologi merupakan pedoman pengobatan rasional sebagian besar pasien SN. Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit penyebab, menghilangkan /mengurangi proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemi serta mencegah dan mengatasi penyulit. treatment of idiopathic membranous nephropathy. N Engl J Med 1992;